JUANGPOS.COM, BANDA ACEH || Tim Pengabdian Masyarakat dari Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) masing-masing atas nama Ahmad Farhan, Akhyar dan Darwin mensosialisasikan Teknologi Tepat Guna (TTG) berupa alat pengeringan ikan “Keumamah” kepada mitra pengabdian di kawasan sentra produksi ikan keumamah di wilayah Lamdingin, Kota Banda Aceh.
Teknologi Tepat Guna tersebut mampu melakukan proses pengeringan lebih cepat, lebih hemat waktu dengan hasil yang lebih baik, sehingga memungkinkan dijual dalam kemasan dengan harga lebih tinggi. Sehingga, ke depan hal ini akan berpeluang untuk meningkatkan pendapatan mitra.
Salah seorang anggota tim TTG Unsyiah, Ahmad Farhan kepada juangpos.com mengatakan, tujuan dari alat Teknologi Tepat Guna itu adalah sebagai alat pengering sederhana yang menggunakan dua sumber panas, yakni sumber panas dari plat kolektor surya dan hasil pembakaran bio massa.
Kata Ia, sumber panas dari kolektor surya digunakan pada saat intensitas matahari tinggi dan sumber panas dari pembakaran bio massa digunakan pada saat atmosfir berawan atau hari hujan, sehingga proses produksi Keumamah (Ikan Kayu) dapat berlangsung tanpa tergantung dari kondisi cuaca.
Adapun, kegiatan sosialisasi yang dilaksanakan pada tanggal 25-26 September 2020 itu berupa pengenalan cara kerja alat dan cara perawatan terhadap alat TTG tersebut.
“Kegiatan ini diikuti oleh mitra, tenaga lapangan pembantu pengabdi dan mahasiswa untuk keperluan kuliah Kerja Praktek (KP) serta mahasiswa pembantu lapangan,” ungkap Ahmad Farhan. Selain pengenalan alat, tim juga melakukan praktek tentang cara pengeringan ikan Keumamah di lapangan yang berlangsung dari pukul 09:00 – 17:30 WIB.
Saat praktek berlangsung, kadar air ikan Keumamah 63% (kering pasar) dicapai pada pukul 14:30 WIB atau membutuhkan waktu pengeringan selama 6 jam. Hal ini lebih cepat dua (2) jam jika dibandingkan dengan pengeringan yang menggunakan metode tradisioanal atau dijemur di bawah matahari secara langsung.
“Proses ini mampu menghemat waktu pengeringan hingga 25%,” ungkap Ahmad Farhan.
Kemudian, tim melanjutkan pengeringan dengan energi biomassa. Karena pada saat itu waktu sudah menjelang sore hari, cuaca sudah mendung.
Kering konstan (kering untuk penyimpanan lama) baru dicapai pada pukul 17:00 WIB atau membutuhkan waktu mencapai kering konstan adalah 8 jam 30 menit, atau lebih cepat 7,5 jam dibandingkan pengeringan tradisional.
“Proses ini menghemat waktu pengeringan mencapai sekitar 47% jika dibandingkan dengan cara pengeringan tradisional,” jelasnya.
Kata Ia, Ikan Keumamah yang dihasilkan dengan alat pengering tampak bewarna cerah, sehingga kuliatasnya bagus.
“Kualitas seperti ini memungkinkan untuk dikemas dalam kemasan dan dijual dengan harga yang relatif lebih tinggi. Dengan demikian, mitra pengrajin pengolahan ikan Keumamah berpeluang untuk meningkatkan pendapatannya,” tuturnya.
Apalagi, kata Ahmad Farhan, Propinsi Aceh termasuk salah satu kawasan penghasil ikan Tongkol/Tuna di Indonesia. Ikan jenis ini termasuk bahan yang memiliki kadar air tinggi dan mudah terurai oleh bakteri, sehingga mudah membusuk.
Selama ini, pengawetan hasil tangkapan nelayan dilakukan dengan berbagai cara. Salah satu metode tradisional pengawetan ikan adalah dengan cara pengeringan.
“Masyarakat propinsi Aceh sudah lama mengadopsi pengeringan ikan sebagai salah satu alternative pengawetan, “Kemamah” merupakan komoditi bahan baku makanan khas Aceh, yang sudah dikenal sejak masa kesultanan, peperangan dan masih disukai sampai sekarang,” tuturnya.
Proses produksi Keumamah secara umum dilakukan mengadopsi teknologi tradisional. Biasanya, Ikan Tongkol segar dijemur secara langsung di bawah terik sinar matahari.
Proses pengeringan ini membutuhkan waktu sekitar 8 jam untuk kering pasar dengan kadar air 60-70%. Kering pasar adalah kondisi kering yang dibutuhkan untuk dijual langsung, bahan jenis ini dapat bertahan kurang dari satu (1) minggu.
Untuk keperluan penyimpanan dalam waktu lama, maka kadar air bahan harus lebih rendah dari 20% (kering konstan). Untuk mencapai Kering konstan membutuhkan waktu penjemuran sekitar 16 jam.
“Beberapa kelemahan akan timbul pada proses pengeringan dengan teknologi tradisional, antara lain: Ketergantungan terhadap cuaca sangat tinggi, musim hujan dapat menyebabkan produksi terhenti; dan Kemungkinan terkontaminasi bakteri dan debu cukup besar,” tutupnya. (ril)
Editor : Zulfikar